Seperti halnya pemain besar lainnya di bisnis
ini, GE sebenarnya juga bukan anak kemarin sore. Investasi real estat
pertamanya dilakukan pada era 1950-an. Di awal 1970-an manajemen GE memutuskan
membuat unit bisnis real estat terpisah yang beroperasi lazimnya perusahaan
pembiayaan real estat institusional lainnya. Di era 1980-an hingga awal
1990-an, unit bisnis ini beroperasi sebagai pemberi pinjaman properti
perkantoran. Baru ketika terjadi market crash pada 1992, unit
ini mengakhiri penambahan portofolio perkantorannya. Tahun-tahun berikutnya, GE
Real Estate mengembangkan portofolio ekuitas dengan membeli aset dari the
Resolution Trust Corporation. Di masa ini pula, GE Real Estate menambahkan
properti permukiman (multi-family housing) serta fasilitas industrial
dan ritel, selain fokus tradisionalnya di sektor perkantoran.
Pentingnya posisi GE Real Estate sebagai salah
satu pemain utama di industrinya juga lantaran berbagai inisiatifnya dalam
pemanfaatan teknologi informasi (TI), sehingga membuat industri real estat
lebih berwarna modern. Saat ini, departemen TI GE Real Estate telah mengotomasi
proses front-end untuk pembiayaan real estat komersial,
sehingga setiap karyawan perusahaan ini dapat membereskan transaksi (closing
the deal) dengan nasabah/pelanggan lebih cepat. Dan lebih penting lagi, GE
Real Estate telah membangun sistem data warehousing. Sebagaimana
diketahui, dengan sistem data warehousing, suatu perusahaan dapat
membuat keputusan bisnis lebih baik dengan memanfaatkan data yang tersedia,
lantaran bisa memprediksi permintaan pelanggan berdasarkan analisis tren. Tak
mengherankan, Michael E. Pralle, President & CEO GE
Real Estate, dalam sambutan di website perusahaan, dengan
percaya diri berujar bahwa komitmen perusahaannya terhadap pelanggan berakar
pada pengabdian terhadap kualitas dan didukung teknologi yang disebutnya â€Å“best-in-classhâ€.
â€Å“Dua kombinasi ini menjamin Anda bisa mencapai bahkan melebihi tujuan
pertumbuhan dan profit Anda (sebagai pelanggan),†katanya.
Kenyataannya, kinerja bisnis GE Real Estate
memang kinclong. Meski ekonomi AS di awal 2000 terbatuk-batuk, pasar real estat
tetap semarak, ditandai dengan melejitnya harga mal perbelanjaan, gedung
perkantoran dan kompleks industri. Dengan suku bunga yang rendah, kompetisi di
antara pemain jadi ketat. Toh, pada 2000 dan 2001, seperti terungkap dalam laporan
tahunan induknya, GE, pendapatan usaha unit real estat tumbuh 24% dan 25%.
â€Å“Bisnis kami memang bisa berjalan baik-baik saja tanpa menggunakan banyak
teknologi, tetapi lewat otomasi, banyak peluang bisnis yang bisa
ditingkatkan,†kata Hank Zupnick, CIO GE Real Estate, seperti dikutip
Computerworld.com.
Sistem bersifat customized yang
dikembangkan menggunakan bahasa Java ini di kalangan GE Real Estate disebut RE
Source. Sistem ini secara elektronik bisa menangkap sebagian besar informasi
yang masuk dalam proses transaksi real estat dan tersedia secara online bagi
orang-orang kunci yang terlibat. â€Å“Berkat teknologi ini, kami dapat meng-underwrite 25%
lebih banyak transaksi, dan mengurangi US$ 8-9 juta pengeluaran setiap tahun
selama dua tahun dengan jumlah staf yang sama,†kata Zupnick sebagaimana
dicatat Computerworld.com.
Meski tak jelas berapa nilai investasi yang
dikeluarkan GE Real Estate untuk mengembangkan DMS, yang pasti banyak hal yang
harus disiapkan perusahaan ini. Termasuk, menambahkandatabase Oracle,
server Unix v880 dari Sun Microsystem (untuk kebutuhan dari testing hingga backup),
menyewa beberapa tenaga programer bahasa Java, dan mengikutkan para staf TI
seniornya pelatihan bahasa Java.
Yang menarik ketika perusahaan ini memutuskan
mengembangkan sistem data warehousing yang didukung dengan
sistem pelaporan berbasis Web. Seperti diungkapkan Zupnick dalam jawabannya
atas pertanyaan via e-mail dari SWA, diskusi untuk
mengembangkan sistem ini dimulai pada 2002. â€Å“Kami membentuk kelompok kerja (working
council), yang terdiri dari bagian keuangan, bagian risk &
property management, dan bagian TI,†katanya. Tim ini berusaha menemukan
apa informasi yang terpenting buat bisnis dan bagaimana informasi itu bisa
tersedia. â€Å“Tim ini masih bertemu setiap 6 minggu untuk mengkaji proposal baru
dan merancang prioritas,†ungkapnya.
Dalam pandangan Zupnick, ada beberapa alasan
mengapa sistem data warehousing menjadi penting buat
perusahaannya. Pertama, masuknya bank-bank dan perusahaan jasa keuangan lainnya
ke bisnis pembiayaan real estat komersial menambah ketat persaingan di bisnis
ini. Di sisi lain, pelanggan juga membutuhkan informasi quote (harga)
maupun persetujuan sesegera mungkin. Jelas, hal yang mahal dan tak mudah bila
informasi pendukung ini dikumpulkan dari berbagai sumber secara manual
dan paper-based. Padahal, kesalahpahaman dalam menilai kinerja
portofolio kredit bisa merugikan perusahaan. Kalau perusahaan mematok suku
bunga lebih rendah dari seharusnya, risiko bisnis jadi lebih tinggi. Adapun
kalau perusahaan mematok suku bunga lebih tinggi dari seharusnya, konsumen
mungkin akan lari ke perusahaan pembiayaan lainnya.
Alasan yang lain, dengan menggenggam lebih dari
8 ribu gedung di seluruh dunia dalam portofolionya, perusahaan ini membutuhkan
cara yang lebih cepat, efisien dan akurat untuk melihat kinerja properti yang
didanainya. Perusahaan ini juga perlu tahu lebih mendalam kesehatan keuangan
penyewa propertinya.
Yang menarik, meski otoritas keuangan GE Real
Estate menyatakan berani keluar uang banyak untuk investasi sistem data
warehousing ini, kelompok kerja (pokja) di bawah koordinasi Zupnick
ini memilih langkah bijak. langkah cerdiknya adalah dengan mempersempit
targetnya menjadi membangun data mart (istilah untuk aplikasi
data yang lebih simpel dan relatif kecil) yang punya target lebih sempit,
sebagai langkah permulaan. â€Å“Daripada kami menerima segepok uang, lebih baik
kami membangun dan me-roll out beberapa data mart tunggal
yang berbiaya murah,†ujar Zupnick. Toh, ada alasan lain di baliknya.
Kalau data mart ini bisa memberikan fungsionalitas yang bagus,
ini cukup memberikan gambaran nilai bisnis yang bisa dipetik dengan sistem yang
lebih besar. Buntutnya, tentu saja akses pendanaan yang lebih besar, walau juga
belum ada jaminan.
Beberapa data mart kecil ini
pun bisa diluncurkan hanya dalam hitungan bulan. Nyatanya, aplikasi data
mart tersebut berjalan bagus, gampang digunakan, berciri real
time, dan mampu memberikan data berkualitas tinggi, baik bagi para pentolan
departemen bisnis maupun para spesialis. Tak mengherankan, setelah itu,
investasi yang jauh lebih besar – bahkan melebihi yang diharapkan --
diguyurkan untuk mengembangkan sistem data warehousing yang
lebih besar. Ternyata ini juga berhasil. Contohnya, bagian hospitality
lending group bisa mengidentifikasi berbagai tipe kredit hotel yang
berbeda-beda dengan catatan masing-masing, sehingga bisa menargetkan ceruk
pasar baru.
Toh, diakui Zupnick, apa yang bisa berjalan
dengan baik pada beberapa data mart kecil belum tentu bisa
berjalan baik pula pada sistem yang lebih besar. Maka, migrasi infrastruktur
yang tergolong besar dilakukan guna mendukung kebutuhan masa depan. Dalam hal
ini, lingkungan server yang semula berbasis Microsoft diganti menjadi Unix,
lengkap dengan dukungan databaseOracle. Untuk aplikasi ekstraksi,
transformasi dan pemuatan data di tingkat back-end menggunakan
Informatica,sedangkan untuk peranti pelaporan menggunakan Cognos. Adapun user
interface-nya, dikatakan Zupnick, dikembangkan sendiri di kantornya di
Dallas.
Zupnick mengklaim, total biaya yang
digelontorkan GE Real Estate untuk membangun sistem data
warehousing ini cukup besar, US$ 5,9 juta, tapi manfaatnya amat
terasa. Ia menyebutkan, berkat data warehouse ini, perusahaan
bisa menghemat lebih dari US$ 2,5 juta/tahun dalam hal biaya tenaga kerja
langsung karena bisa menyediakan akses data yang mudah, padahal sebelumnya
butuh riset ekstensif yang mahal.
Kepada SWA, Zupnick membeberkan
manfaat signifikan dari keberadaan sistem data warehousing di
perusahaannya. Pertama, sistem ini mengeliminasi waktu yang dulu dibutuhkan para
staf untuk melakukan analisis pasar. Menurutnya, karena mereka menganalisis
lebih dari 55 pasar besar di seluruh dunia, yang mencakup empat jenis properti
utama (perkantoran, multi-family housing, ritel dan industri),
jelas ini merupakan peningkatan produktivitas secara signifikan. â€Å“Sekarang
semua informasi ini sudah disediakan sistem,†katanya. Kedua, sistem tersebut
juga bisa dipakai untuk mengarah ke tren (seperti lonjakan harga atau perubahan
tingkat okupansi) jauh lebih cepat, sekaligus untuk mengambil aksi yang paling
pas. Ketiga, mengidentifikasi peluang baru, misalnya memasuki pasar-pasar baru
yang berkembang.
Sebenarnya, ada lagi manfaat yang tak kalah
penting, yakni meminimalkan risiko bisnis properti. Contohnya, seperti
diceritakan Zupnick pada CIO.com, seorang VP Senior yang bertanggung jawab di
bidang manajemen risiko global yang sedang dalam perjalanan menuju rapat di
kantor pusat GE Real Estate mendengar berita sebuah perusahaan blue
chip tengah dirundung masalah berat. Lewat laptop-nya, ia
pun mengakses sistem data warehousing guna mengetahui apakah
ada exposure bisnis perusahaannya yang terkena pengaruh, yang
mungkin bakal ditanyakan peserta rapat lainnya. Tak sampai satu jam, ia sudah
bisa memperoleh jawabannya, dan sekaligus menyiapkan aksi yang bakal
diinstruksikannya ke kantor GE Real Estate di Dallas (AS) dan Manchester
(Inggris).
Dengan keberhasilan kerja tim di bawah
koordinasinya ini, omongan Zupnick kemudian memang jadi amat bermakna: untuk
memperoleh kemenangan besar, kadang Anda harus memulainya dari hal kecil.
Pertanyaan
dan Jawaban ::
- Apa yang menyebabkan perusahaan
GE memutuskan untuk membangun data warehouse?
Karena migrasi
infrastruktur yang dilakukan perusahaan tergolong besar, selain itu
pertimbangan lainnya adalah guna mendukung kebutuhan masa depan
- Apa saja manfaat data warehouse
bagi perusahaan tersebut?
- Mampu mengeliminasi
waktu yang dulu dibutuhkan para staf untuk melakukan analisis pasar.
- Mampu dipakai untuk
mengarah ke tren (seperti lonjakan harga atau perubahan tingkat okupansi) jauh
lebih cepat, sekaligus untuk mengambil aksi yang paling pas.
- Mampu mengidentifikasi
peluang baru, misalnya memasuki pasar-pasar baru yang berkembang.
- Perushaan bisa
menyediakan akses data yang mudah, padahal sebelumnya butuh riset ekstensif
yang mahal, sehingga perusahaan bisa menghemat lebih dari US$ 2,5 juta/tahun
dalam hal biaya tenaga kerja langsung.
- Apa kendala yang dialami
perusahaan dalam membangun sebuah data warehouse?
Dibutuhkan biaya mahal (diperkirakan butuh beberapa juta dolar)
dan makan waktu lama, selain itu juga punya ketidakpastian tinggi dalam
prosesnya.