Senin, 23 September 2013

Seperti halnya pemain besar lainnya di bisnis ini, GE sebenarnya juga bukan anak kemarin sore. Investasi real estat pertamanya dilakukan pada era 1950-an. Di awal 1970-an manajemen GE memutuskan membuat unit bisnis real estat terpisah yang beroperasi lazimnya perusahaan pembiayaan real estat institusional lainnya. Di era 1980-an hingga awal 1990-an, unit bisnis ini beroperasi sebagai pemberi pinjaman properti perkantoran. Baru ketika terjadi market crash pada 1992, unit ini mengakhiri penambahan portofolio perkantorannya. Tahun-tahun berikutnya, GE Real Estate mengembangkan portofolio ekuitas dengan membeli aset dari the Resolution Trust Corporation. Di masa ini pula, GE Real Estate menambahkan properti permukiman (multi-family housing) serta fasilitas industrial dan ritel, selain fokus tradisionalnya di sektor perkantoran.

Pentingnya posisi GE Real Estate sebagai salah satu pemain utama di industrinya juga lantaran berbagai inisiatifnya dalam pemanfaatan teknologi informasi (TI), sehingga membuat industri real estat lebih berwarna modern. Saat ini, departemen TI GE Real Estate telah mengotomasi proses front-end untuk pembiayaan real estat komersial, sehingga setiap karyawan perusahaan ini dapat membereskan transaksi (closing the deal) dengan nasabah/pelanggan lebih cepat. Dan lebih penting lagi, GE Real Estate telah membangun sistem data warehousing. Sebagaimana diketahui, dengan sistem data warehousing, suatu perusahaan dapat membuat keputusan bisnis lebih baik dengan memanfaatkan data yang tersedia, lantaran bisa memprediksi permintaan pelanggan berdasarkan analisis tren. Tak mengherankan, Michael E. Pralle, President & CEO GE Real Estate, dalam sambutan di website perusahaan, dengan percaya diri berujar bahwa komitmen perusahaannya terhadap pelanggan berakar pada pengabdian terhadap kualitas dan didukung teknologi yang disebutnya “best-in-classh”. “Dua kombinasi ini menjamin Anda bisa mencapai bahkan melebihi tujuan pertumbuhan dan profit Anda (sebagai pelanggan),” katanya.

Kenyataannya, kinerja bisnis GE Real Estate memang kinclong. Meski ekonomi AS di awal 2000 terbatuk-batuk, pasar real estat tetap semarak, ditandai dengan melejitnya harga mal perbelanjaan, gedung perkantoran dan kompleks industri. Dengan suku bunga yang rendah, kompetisi di antara pemain jadi ketat. Toh, pada 2000 dan 2001, seperti terungkap dalam laporan tahunan induknya, GE, pendapatan usaha unit real estat tumbuh 24% dan 25%. “Bisnis kami memang bisa berjalan baik-baik saja tanpa menggunakan banyak teknologi, tetapi lewat otomasi, banyak peluang bisnis yang bisa ditingkatkan,” kata Hank Zupnick, CIO GE Real Estate, seperti dikutip Computerworld.com.

Sistem bersifat customized yang dikembangkan menggunakan bahasa Java ini di kalangan GE Real Estate disebut RE Source. Sistem ini secara elektronik bisa menangkap sebagian besar informasi yang masuk dalam proses transaksi real estat dan tersedia secara online bagi orang-orang kunci yang terlibat. “Berkat teknologi ini, kami dapat meng-underwrite 25% lebih banyak transaksi, dan mengurangi US$ 8-9 juta pengeluaran setiap tahun selama dua tahun dengan jumlah staf yang sama,” kata Zupnick sebagaimana dicatat Computerworld.com.

Meski tak jelas berapa nilai investasi yang dikeluarkan GE Real Estate untuk mengembangkan DMS, yang pasti banyak hal yang harus disiapkan perusahaan ini. Termasuk, menambahkandatabase Oracle, server Unix v880 dari Sun Microsystem (untuk kebutuhan dari testing hingga backup), menyewa beberapa tenaga programer bahasa Java, dan mengikutkan para staf TI seniornya pelatihan bahasa Java.

Yang menarik ketika perusahaan ini memutuskan mengembangkan sistem data warehousing yang didukung dengan sistem pelaporan berbasis Web. Seperti diungkapkan Zupnick dalam jawabannya atas pertanyaan via e-mail dari SWA, diskusi untuk mengembangkan sistem ini dimulai pada 2002. “Kami membentuk kelompok kerja (working council), yang terdiri dari bagian keuangan, bagian risk & property management, dan bagian TI,” katanya. Tim ini berusaha menemukan apa informasi yang terpenting buat bisnis dan bagaimana informasi itu bisa tersedia. “Tim ini masih bertemu setiap 6 minggu untuk mengkaji proposal baru dan merancang prioritas,” ungkapnya.

Dalam pandangan Zupnick, ada beberapa alasan mengapa sistem data warehousing menjadi penting buat perusahaannya. Pertama, masuknya bank-bank dan perusahaan jasa keuangan lainnya ke bisnis pembiayaan real estat komersial menambah ketat persaingan di bisnis ini. Di sisi lain, pelanggan juga membutuhkan informasi quote (harga) maupun persetujuan sesegera mungkin. Jelas, hal yang mahal dan tak mudah bila informasi pendukung ini dikumpulkan dari berbagai sumber secara manual dan paper-based. Padahal, kesalahpahaman dalam menilai kinerja portofolio kredit bisa merugikan perusahaan. Kalau perusahaan mematok suku bunga lebih rendah dari seharusnya, risiko bisnis jadi lebih tinggi. Adapun kalau perusahaan mematok suku bunga lebih tinggi dari seharusnya, konsumen mungkin akan lari ke perusahaan pembiayaan lainnya.

Alasan yang lain, dengan menggenggam lebih dari 8 ribu gedung di seluruh dunia dalam portofolionya, perusahaan ini membutuhkan cara yang lebih cepat, efisien dan akurat untuk melihat kinerja properti yang didanainya. Perusahaan ini juga perlu tahu lebih mendalam kesehatan keuangan penyewa propertinya.

Yang menarik, meski otoritas keuangan GE Real Estate menyatakan berani keluar uang banyak untuk investasi sistem data warehousing ini, kelompok kerja (pokja) di bawah koordinasi Zupnick ini memilih langkah bijak. langkah cerdiknya adalah dengan mempersempit targetnya menjadi membangun data mart (istilah untuk aplikasi data yang lebih simpel dan relatif kecil) yang punya target lebih sempit, sebagai langkah permulaan. “Daripada kami menerima segepok uang, lebih baik kami membangun dan me-roll out beberapa data mart tunggal yang berbiaya murah,” ujar Zupnick. Toh, ada alasan lain di baliknya. Kalau data mart ini bisa memberikan fungsionalitas yang bagus, ini cukup memberikan gambaran nilai bisnis yang bisa dipetik dengan sistem yang lebih besar. Buntutnya, tentu saja akses pendanaan yang lebih besar, walau juga belum ada jaminan.

Beberapa data mart kecil ini pun bisa diluncurkan hanya dalam hitungan bulan. Nyatanya, aplikasi data mart tersebut berjalan bagus, gampang digunakan, berciri real time, dan mampu memberikan data berkualitas tinggi, baik bagi para pentolan departemen bisnis maupun para spesialis. Tak mengherankan, setelah itu, investasi yang jauh lebih besar – bahkan melebihi yang diharapkan -- diguyurkan untuk mengembangkan sistem data warehousing yang lebih besar. Ternyata ini juga berhasil. Contohnya, bagian hospitality lending group bisa mengidentifikasi berbagai tipe kredit hotel yang berbeda-beda dengan catatan masing-masing, sehingga bisa menargetkan ceruk pasar baru.

Toh, diakui Zupnick, apa yang bisa berjalan dengan baik pada beberapa data mart kecil belum tentu bisa berjalan baik pula pada sistem yang lebih besar. Maka, migrasi infrastruktur yang tergolong besar dilakukan guna mendukung kebutuhan masa depan. Dalam hal ini, lingkungan server yang semula berbasis Microsoft diganti menjadi Unix, lengkap dengan dukungan databaseOracle. Untuk aplikasi ekstraksi, transformasi dan pemuatan data di tingkat back-end menggunakan Informatica,sedangkan untuk peranti pelaporan menggunakan Cognos. Adapun user interface-nya, dikatakan Zupnick, dikembangkan sendiri di kantornya di Dallas.

Zupnick mengklaim, total biaya yang digelontorkan GE Real Estate untuk membangun sistem data warehousing ini cukup besar, US$ 5,9 juta, tapi manfaatnya amat terasa. Ia menyebutkan, berkat data warehouse ini, perusahaan bisa menghemat lebih dari US$ 2,5 juta/tahun dalam hal biaya tenaga kerja langsung karena bisa menyediakan akses data yang mudah, padahal sebelumnya butuh riset ekstensif yang mahal.

Kepada SWA, Zupnick membeberkan manfaat signifikan dari keberadaan sistem data warehousing di perusahaannya. Pertama, sistem ini mengeliminasi waktu yang dulu dibutuhkan para staf untuk melakukan analisis pasar. Menurutnya, karena mereka menganalisis lebih dari 55 pasar besar di seluruh dunia, yang mencakup empat jenis properti utama (perkantoran, multi-family housing, ritel dan industri), jelas ini merupakan peningkatan produktivitas secara signifikan. “Sekarang semua informasi ini sudah disediakan sistem,” katanya. Kedua, sistem tersebut juga bisa dipakai untuk mengarah ke tren (seperti lonjakan harga atau perubahan tingkat okupansi) jauh lebih cepat, sekaligus untuk mengambil aksi yang paling pas. Ketiga, mengidentifikasi peluang baru, misalnya memasuki pasar-pasar baru yang berkembang.

Sebenarnya, ada lagi manfaat yang tak kalah penting, yakni meminimalkan risiko bisnis properti. Contohnya, seperti diceritakan Zupnick pada CIO.com, seorang VP Senior yang bertanggung jawab di bidang manajemen risiko global yang sedang dalam perjalanan menuju rapat di kantor pusat GE Real Estate mendengar berita sebuah perusahaan blue chip tengah dirundung masalah berat. Lewat laptop-nya, ia pun mengakses sistem data warehousing guna mengetahui apakah ada exposure bisnis perusahaannya yang terkena pengaruh, yang mungkin bakal ditanyakan peserta rapat lainnya. Tak sampai satu jam, ia sudah bisa memperoleh jawabannya, dan sekaligus menyiapkan aksi yang bakal diinstruksikannya ke kantor GE Real Estate di Dallas (AS) dan Manchester (Inggris).

Dengan keberhasilan kerja tim di bawah koordinasinya ini, omongan Zupnick kemudian memang jadi amat bermakna: untuk memperoleh kemenangan besar, kadang Anda harus memulainya dari hal kecil.


Pertanyaan dan Jawaban ::
  1. Apa yang menyebabkan perusahaan GE memutuskan untuk membangun data warehouse?
Karena migrasi infrastruktur yang dilakukan perusahaan tergolong besar, selain itu pertimbangan lainnya adalah guna mendukung kebutuhan masa depan
  1. Apa saja manfaat data warehouse bagi perusahaan tersebut?
  • Mampu mengeliminasi waktu yang dulu dibutuhkan para staf untuk melakukan analisis pasar.
  • Mampu dipakai untuk mengarah ke tren (seperti lonjakan harga atau perubahan tingkat okupansi) jauh lebih cepat, sekaligus untuk mengambil aksi yang paling pas.
  • Mampu mengidentifikasi peluang baru, misalnya memasuki pasar-pasar baru yang berkembang.
  • Perushaan bisa menyediakan akses data yang mudah, padahal sebelumnya butuh riset ekstensif yang mahal, sehingga perusahaan bisa menghemat lebih dari US$ 2,5 juta/tahun dalam hal biaya tenaga kerja langsung.
  1. Apa kendala yang dialami perusahaan dalam membangun sebuah data warehouse?
Dibutuhkan biaya mahal (diperkirakan butuh beberapa juta dolar) dan makan waktu lama, selain itu juga punya ketidakpastian tinggi dalam prosesnya.
Posted by Unknown On Senin, September 23, 2013 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

    Blogger news

    Blogroll

    About